Mungkin kadang kita lupa untuk berbahagia sendiri
Mungkin karena kita sibuk untuk membahagiakan orang lain
Atau bisa jadi karena kita terlalu fokus untuk mengejar kebahagiaan itu sendiri
Apakah kamu bahagia?
Apakah aku bahagia?
Apakah kita berbahagia?
Kita mencari pada setiap literatur mengenai makna kebahagiaan itu
Kita mencari pada setiap detik yang berlalu untuk merasakan kebahagiaan itu
Kita mencari pada setiap inci langkah yang ditempuh untuk menemui kebahagiaan itu
Lalu
Ternyata, kebahagiaan itu tidak kunjung datang
Tidak kunjung mengapung dipermukaan pertanyaan kehidupan
Tidak lantas menyeruak juga rupanya dari helaan nafas, tetesan air mata, serta senyum yang kita kembangkan
Mungkin saja kita hanya lupa untuk berbahagia sendiri
Dengan kebahagiaan itu
Yang ada pada diri kita sendiri
Lupa Untuk Berbahagia Sendiri
26 Jul 2017
Assalamualaikum, halo apa kabar kalian?
I wish everything is fine.
Oke, seperti yang kita ketahui belakangan ini selain musim
pernikahan (I mean buat saya bulan
ini kayak wedding marathon. Like literally tiap minggu ada undangan
kondangan (oke, ini agak nda penting sih sebenarnya hehe) ), juga sedang musim
maraknya pemberitaan mengenai tindakan bunuh diri di media (mau yang media mainstream ataupun media sosial).
Mulai dari berita si mantan pacarnya selebgram yang
meninggal karena bunuh diri (tapi ini masih simpang siur sih. Ada yang bilang
Alm. meninggal karena bunuh diri, ada juga yang bilang karena sakit) , sampai
berita kakak adik yang bunuh diri dengan cara melompat dari beranda apartemennya.
Well, berbicara mengenai tindakan
bunuh diri memang bukanlah hal yang baru di dunia ini. Tapi tetap saja terasa/
terdengar miris (at least ini buat
saya pribadi).
Kita semua tau, dan saya rasa kita semua paham kalau life is like riding a rollercoaster. We got our heart beat so fast when we going
up, and we can’t catch our breath when the rollercoaster going down in a high
speed. Jadi kurang lebih seperti itu, atau simpelnya seperti perkataan
orang-orang, kalau kehidupan itu seperti roda yang berputar. Kadang kita
diatas, kadang juga dibawah.
Menurut saya pribadi, kita semua pasti pernah, paling tidak
sekali saja, dalam hidup ini berada di lowest
point on life. Kita pernah berada di bawah roda. Entah roda kehidupan itu
sedang menggilas kita dengan cepatnya. Entah ukuran roda kehidupan itu segede
gaban sampai kita tiba kepada titik depresi atau titik tidak mempunyai semangat
untuk hidup lagi.
Kalau dari hasil seluncuran saya di search engine bernama google, dalam studi psikologi mengatakan
bahwa ketika kita merasa depresi maka keinginan untuk bunuh diri sebagai bentuk
penyelesaian masalah itu sangat besar persentasinya. Tapi yang menarik buat
saya ketika berseluncur di ombak bacaan jaringan internet tadi ialah pandangan
dari DR. Kartono Kartini yang menyatakan bahwa salah satu tipe dalam bunuh diri
ialah tipe bunuh diri sebagai komunikasi.
Komunikasi buat saya ialah sebuah kebutuhan primer dari
setiap individu. Baik yang memiliki karakter introvert maupun extrovert.
Komunikasi bagai sebuah kebutuhan yang layaknya dipenuhi oleh setiap individu. Baik
dalam bentuk komunikasi langsung ataupun yang membutuhkan media sebagai
perantara. Bila mengaitkan antra pandangan DR. Kartono Kartini yang mengatakan
bahwa bunuh diri menjadi salah satu bentuk perwujudan komunikasi, maka kita atau
dalam hal ini orang-orang maupun kerabat dari orang-orang yang memutuskan untuk
mengakhiri hidupnya dapat dikatakan sebagai seorang komunikan dan pelaku bunuh
diri itu sendiri sebagai seorang komunikator.
Saya ingat dengan jelas dalam satu kali pertemuan ketika
mata kuliah pengantar ilmu komunikasi, sang dosen mengatakan bahwa ketika
proses penyampaian pesan tidak terjadi dengan baik atau terjadi bias dan makna
yang diterima oleh komunikan tidak sama dengan yang dimaksudkan oleh
komunikator, maka kesalahan sepenuhnya ada pada pihak komunikator.
Tetapi mungkin kita lupa untuk selalu mengadakan
pengecualian. Dalam beberapa kasus dalam proses komunikasi, mungkin kita
(apabila berada pada posisi komunikan) tidak perlu membebankan kesempurnaan
penyampaian pesan dari pihak komunikator. Karena kita sudah sepatutnya
menyadari bahwa kita pada dasarnya ialah manusia biasa yang mempunyai
keterbatasan.
Masih menyambungkan opini saya
mengenai maraknya kasus bunuh diri dengan pernyataan mengenai bunuh diri
sebagai bentuk komunikasi. Di era globalisasi seperti saat ini, dimana media
berkembang dengan sangat pesat dan penyebaran serta penyerapan informasi dapat
kita rasakan dalam hitungan detik saja. Media, seperti kita ketahui juga
disebut dalam proses berkomunikasi. Dengan pemilihan media yang tepat maka
proses penyampaian pesan diharapkan juga berlangsung dengan baik. Tetapi
(sekali lagi ini opini saya pribadi dan juga ketakutan saya sendiri), saya
melihat bahwa media dengan power yang sangat besar ketika telah membuat suatu
pemberitaan mengenai bunuh diri menjadi viral,
membuat saya khawatir bisa menimbulkan niatan atau memperkuat keinginan
seseorang yang tengah digilas roda kehidupan untuk melakukan hal yang sama.
Sepertinya masih segar dalam
ingatan saya ketika seorang ayah memutuskan untuk menghentikan nafasnya dan
mirisnya lagi ia lakukan di depan publik dengan menggunakan perantara fitur live dari sebuah media sosial. Bila
bunuh diri merupakan salah satu bentuk komunikasi, maka pesan yang ingin
disampaikan dari komunikator hanyalah berupa kode yng harus komunikan
persepsikan sendiri.
Bila bunuh diri adalah salah satu
bentuk komunikasi, maka komunikan harusnya merasa malu karena tidak
mempraktekkan self disclosure kepada
komunikator.
Bila bunuh diri adalah salah satu
bentuk komunikasi…. maka satu-satunya pesan yang tersampaikan adalah proses
komunikasi tidak berjalan dengan baik. Dan itu bukanlah kesalahan dari
komunikator semata.
Semoga saja tidak ada lagi yang
berpikiran atau berniat untuk menghentikan nafasnya secara mandiri. Seharusnya
kita semua tenang saja, Freud juga mengatakan bahwa tujuan semua hidup adalah
mati. Tetapi tidak ada sebaik-baiknya mati kecuali karena kehendak yang Maha
Kuasa.
Life is like a riding a rolloercoaster, once we got so high and laugh so loud, and in a second we got down and screaming till we can't hear our voice. Life is like a riding a rollercoaster, and like every game in a festival, it got it's own time to stop. Don't need to worry. It's just a life.
19 Jun 2017
What is life?
Is it when you woke up at 5 am in a morning?
Is it when you stare at your smile photo on your wall?
Is it when you take a deep breath every time you heard someone
name?
Or is it when you look down at your bare feet on a ground?
What if it’s not the life you want?
What if every time when you awake in the middle at night and
you start thinking about your life?
What if when you stare at your smile photo on your wall and
you only find the sad person behind the frame?
What if you wish you’re not losing your breath every time
you heard someone name?
What is happiness?
Is it kind of something you can find in a piece of clothes?
Is it kind of something you can buy at your smartphone?
Is it kind of something you can borrow at library?
Or is it kind of something you can find on the palm of your
hands?
What if you don’t want that kind of happiness?
What if you want happy in another way?
What if you want to be happy without have to doing nothing?
What is love?
What if you want to be loved without have to losing yourself?
What if you want to life happily and feel the love at the
same time but when you stare at you smile photo on your wall you only find emptiness?
I want a life
Everybody wants a life
But what kind of life do we want?
I want to be happy
Everybody wants to be happy
But what kind of happiness do we want?
I want to be loved
Everybody wants to be loved
But, do we deserve to be loved?
10 Jul 2016
via go think big |
Assalamualaikum, halo
apa kabar kalian? Semoga baik dan bahagia selalu.
Sudah lama sekali ya
rasanya sejak terakhir kali saya menulis di blog ini. Oh iya, sebelumnya saya
mohon maaf lahir dan bathin ya. Mumpung hawa-hawa ketupat dan opor ayam masih
hangat diantara kita :p, maafkan ya kalau saya ada salah yang disengaja ataupun
yang tidak disengaja :)
Well, seperti judul
diatas, tulisan kali ini saya ingin membahas mengenai quarter life crisis. Apa
itu quarter life crisis? Kenapa kita mesti mengalaminya? Apakah itu hal yang
normal? Ataukah hanya saya yang merasakan hal tersebut? Ayo ayo kita bahas
sama-sama (atau yang kali ini biarkanlah saya yang membahasnya duluan dan
silahkan kalian respon di kolom komentar di bawah)
Belakangan ini saya
sering susah untuk tidur. Walaupun pada dasarnya saya sangat suka tidur, tapi
untuk tidur di malam hari adalah kegiatan yang sulit saya lakukan belakangan
ini. Juga, belakangan ini pikiran saya jadi lebih aktif bekerja. Ada banyak
sekali kata-kata yang bekeliaran di otak ini. Mulai dari “apa yang akan terjadi
besok ya?”, “apa yang akan saya lakukan untuk masa depan saya?”, “apakah yang
saya jalani saat ini sudah benar?” “saya takut kalau sudah lulus nanti saya
tidak bisa membahagiakan orang tua”, “apakah saya sudah bahagia?”,dan “kapan jodoh ku datang ya Allah *oke yang ini
agak curhat hahaha*” dan segudang apakah-apakah lainnya yang menjerumus ke arah
ketakutan mengenai hidup yang fana ini.
Intinya, bagi saya
belakangan ini life is a bit bitchy.
Akhirnya saya ingat,
kalau saya pernah menemukan artikel mengenai quarter life crisis. Karena
penasaran akhirnya saya klik lah link artikel tersebut. Secara singkat artikel
itu membahas persis seperti perasaan-perasaan gundah-gulana yang sedang saya
alami saat ini. Tapi saya tidak puas dengan penjelasan di artikel tersebut.
Jadinya saya googling lagi, dan menemukan banyak sekali artikel mengenai
quarter life crisis. Tapi sekali lagi, tidak satupun dari artikel-artikel itu
yang menjelaskan kenapa kita mengalami quarter life crisis. Hampir semua dari
artikel itu berisikan kalimat-kalimat motivasi untuk tetap santai dalam
menjalani hidup. Karena quarter life crisis adalah hal yang sangat normal dalam
hidup. Blah, yang saat ini saya cari itu penjelasan, bukan pembenaran -_-
Oh iya, sebelum terlalu
jauh melangkah kita harus tahu dulu apa itu quarter life crisis?
Jadi, according to Wikipedia
quarter life crisis is period life ranging from twenties to thirties in which
person start to feel doubtful about their own lives brought on by stress of
becoming an adult.
Secara singkat kita
dapat mengartikan quarter life crisis adalah fase yang dialami oleh mereka yang
berusia 20-30 tahunan yang mulai mempertanyakan mengenai hidup dan cenderung
mengalami stress karenanya. Kalau kamu berumur 20-30 tahun dan mulai
mempertanyakan hidup, mulai merasa ditinggalkan oleh teman-teman yang entah
karena mereka sudah memiliki kesibukan masing-masing ataupun sudah sibuk
ngurusin rumah tangga sementara kamu masih gitu-gitu aja atau kamu mulai
mempertanyakan maka kebahagiaan yang hakiki itu apa, well… welcome to the club.
Oke, seperti yang saya katakana
pada paragraf sebelumnya. Ada banyakkkkk sekali artikel mengenai quarter life
crisis, tapi sayangnya semua berakhir pada kalimat motivasi yang meyakinkan
kita untuk tetap santai dan tenang dalam menjalani hidup.
Saya setuju sih untuk
tetap tenang dalam menjalani hidup, tapi santai? Saya rasa tidak. Satu-satunya
alasan mengapa quarter life crisis is good for us adalah dengan mengerti dan
memahami fase kehidupan ini kita bisa bersiap dalam menjalani hidup. Kadang
memang seru aja menjalani hidup dengan penuh spontanitas, tapi untuk beberapa
hal, dude, we should have a plan.
Seharusnya quarter life
crisis sudah dimengerti oleh para remaja, kenapa? Ya supaya mereka gak kaget
pas di usia segitu hidup tidak seseru film-film romantic comedy yang sering
kita tonton. Dengan memahami quarter life crisis setidaknya kita bisa
berjaga-jaga untuk tetap bisa survive dalam menjalani hidup. Karena seperti
yang bapak dosen saya bilang pas mata kuliah crisis management, crisis itu bisa
terjadi karena tidak menaati aturan yang ada. Untuk hal ini mungkin peraturan
yang dimaksudkan ialah aturan-aturan atau budaya yang sudah melekat dengan diri
kita sejak lahir. Tetapi, pada dasarnya crisis dapat diprediksi. Bagaimana? Ya dengan
menganalisis aturan mana yang kita langgar hingga crisis itu bisa terjadi.
Lagipula crisis itu ada tahapannya, jadi kita makin mudah untuk mengaturnya
*cihuy*.
Tahapan pertama dalam
masa crisis adalah pre-crisis, yang dimana pada masa awal ini crisis belum
terlihat tapi sudah bisa dirasakan. Ya seperti kita mulai berpikir apa yang
salah dengan diri atau apa yang kurang dari hidup ini. Lalu selanjutnya, acute
crisis stage; ini adalah masa dimana crisis sudah mulai dapat dilihat, seperti
kita mulai menyadari kalau teman yang sering ajak keluar atau nongkrong bareng
ya itu-itu aja. Atau ketika diajak kemana-kemana kita lebih memilih untuk kerja
ya karena ada sesuatu yang kita kejar. Dan yang terakhir itu adalah post crisis
stage ini adalah fase akhir dalam crisis itu. Akhirnya kita bisa tenang dan
bisa kembali fokus dalam menjalani hidup.
Dalam menjalani quarter
life crisis, kita perlu rencana untuk menyelesaikannya. Karena sekali lagi,
buat saya quarter life crisis hadir bukan untuk dibenarkan tetapi hadir untuk
membuat kita lebih sigap dan dewasa dalam menjalani hidup. Dengan mulai
mengumpulkan fakta-fakta hidup, membuat rencana hidup jangka pendek dan
panjang, dan tidak lupa berdoa serta 2,5% bagi fakir miskin, insya Allah semuanya
akan kembali lancar :p
Bagi saya, kita perlu
membuat life crisis management plan, karena dengan demikian kita dapat mencegah
kemungkinan buruk yang bisa menimpa hidup kita.
Walaupun teori yang
diatas itu sebenarnya step-by step untuk mengatasi krisis dalam perusahaan,
tapi sebagai manusia yang muda dan kreatif semuanya bisa kan dicocok-cocokkan
(mungkin inilah yang dinamakan cocokologi haha)
Yah seperti itulah,
saya sendiri sudah berusia 23 tahun. Dan baru menyadari kalau saat ini sedang
mengalami quarter life crisis, makanya jadi heboh gini. Sedihnya saya tidak
mempersiapkan diri ini lebih awal, tapi setidaknya tidak ada kata terlambat kan
untuk memulai membuat crisis life strategic and management plan supaya tidak tersesat
dan tak tahu arah jalan pulang.
Saya harap kalian juga
sudah siap dalam menjalani fase kehidupan ini. Karena setelah itu, ternyata
masih ada fase selanjutnya. Yaitu midlife crisis. Tapi natilah kita bahas itu,
setelah kita akan mendekati usia 40 tahun. Atau kalian sudah penasaran seperti
saya, go gooling and you can find a tons of article about it. Tapi jangan
kecewa kalau kebanyakan dari mereka hanya sebatas menyemangati karena pada
dasarnya hanya kita yang bisa membuat keputusan dalam hidup kita ini. Jadi
lebih beranilah untuk membuat rencana hidup (lah ini apa namanya kalau bukan
kalimat motivasi juga? -____-“)
Sudah ya, semoga
tulisan ini bermanfaat. Ini sudah lewat tengah malam dan saya sudah harus
berusaha lebih giat lagi supaya bisa secepatnya tertidur.
Until we meet again :)
6 Apr 2016
via tumblr |
Assalamualaikum, halo apa kabar kalian?
It's been forever since the last time saya nge-blog. Entah kemana kalimat-kalimat yang sudah tersusun rapi di dalam pikiran ini perginya. Yang pasti niat untuk rajin nge-blog itu selalu ada sebenarnya, tetapi ya sekali lagi.. i beat by procrastinate ;p
Beberapa waktu belakangan ini saya sedang sering sekali nongkrong di YouTube, mungkin karena tv sudah terlalu banyak tontonan yang busuk. Dan di tengah-tengah kegiatan nongkrong itu, saya menemukan sebuah kalimat yang di ucapkan oleh salah satu beauty vlogger yang sering saya tonton belakangan ini.
"People want you to be happy, but they won't you to be happier than them", Titan Tyra
For some reason, apa yang dikatakan Titan itu benar (setidaknya untuk saya). Pertanyaannya kemudian adalah apakah kita memang seperti itu? Atau kita bersikap demikian hanya untuk beberapa pribadi saja? Hmm...
Kita memang tidak bisa memaksakan semua orang menyukai kita. Akan selalu ada yang bertentangan dalam hidup ini. Dan karena itu lah kita dikatakan "hidup". Kadang mungkin kita terlalu sibuk untuk membuat orang lain kagum dengan kehidupan kita, sampai kita sendiri lupa apa makna kebahagiaan.
Berbicara mengenai makna, menurut kalian apa artinya bahagia itu? Apa menurut kalian bahagia itu memang sederhana? Atau mungkin kita hanya harus mengumpulkan bagian-bagian kecil dari hidup untuk membentuk sesuatu yang sederhana kemudian bahagia?
Atau mungkin bahagia memang tidak sesederhana apa yang dikatakan orang-orang? Karena mungkin sebenarnya kebahagiaan hanya perlu dirasakan tanpa perlu dipikirkan?
Entahlah...
Langganan:
Postingan (Atom)