Assalamualaikum, halo apa kabar kalian?
I wish everything is fine.
Oke, seperti yang kita ketahui belakangan ini selain musim
pernikahan (I mean buat saya bulan
ini kayak wedding marathon. Like literally tiap minggu ada undangan
kondangan (oke, ini agak nda penting sih sebenarnya hehe) ), juga sedang musim
maraknya pemberitaan mengenai tindakan bunuh diri di media (mau yang media mainstream ataupun media sosial).
Mulai dari berita si mantan pacarnya selebgram yang
meninggal karena bunuh diri (tapi ini masih simpang siur sih. Ada yang bilang
Alm. meninggal karena bunuh diri, ada juga yang bilang karena sakit) , sampai
berita kakak adik yang bunuh diri dengan cara melompat dari beranda apartemennya.
Well, berbicara mengenai tindakan
bunuh diri memang bukanlah hal yang baru di dunia ini. Tapi tetap saja terasa/
terdengar miris (at least ini buat
saya pribadi).
Kita semua tau, dan saya rasa kita semua paham kalau life is like riding a rollercoaster. We got our heart beat so fast when we going
up, and we can’t catch our breath when the rollercoaster going down in a high
speed. Jadi kurang lebih seperti itu, atau simpelnya seperti perkataan
orang-orang, kalau kehidupan itu seperti roda yang berputar. Kadang kita
diatas, kadang juga dibawah.
Menurut saya pribadi, kita semua pasti pernah, paling tidak
sekali saja, dalam hidup ini berada di lowest
point on life. Kita pernah berada di bawah roda. Entah roda kehidupan itu
sedang menggilas kita dengan cepatnya. Entah ukuran roda kehidupan itu segede
gaban sampai kita tiba kepada titik depresi atau titik tidak mempunyai semangat
untuk hidup lagi.
Kalau dari hasil seluncuran saya di search engine bernama google, dalam studi psikologi mengatakan
bahwa ketika kita merasa depresi maka keinginan untuk bunuh diri sebagai bentuk
penyelesaian masalah itu sangat besar persentasinya. Tapi yang menarik buat
saya ketika berseluncur di ombak bacaan jaringan internet tadi ialah pandangan
dari DR. Kartono Kartini yang menyatakan bahwa salah satu tipe dalam bunuh diri
ialah tipe bunuh diri sebagai komunikasi.
Komunikasi buat saya ialah sebuah kebutuhan primer dari
setiap individu. Baik yang memiliki karakter introvert maupun extrovert.
Komunikasi bagai sebuah kebutuhan yang layaknya dipenuhi oleh setiap individu. Baik
dalam bentuk komunikasi langsung ataupun yang membutuhkan media sebagai
perantara. Bila mengaitkan antra pandangan DR. Kartono Kartini yang mengatakan
bahwa bunuh diri menjadi salah satu bentuk perwujudan komunikasi, maka kita atau
dalam hal ini orang-orang maupun kerabat dari orang-orang yang memutuskan untuk
mengakhiri hidupnya dapat dikatakan sebagai seorang komunikan dan pelaku bunuh
diri itu sendiri sebagai seorang komunikator.
Saya ingat dengan jelas dalam satu kali pertemuan ketika
mata kuliah pengantar ilmu komunikasi, sang dosen mengatakan bahwa ketika
proses penyampaian pesan tidak terjadi dengan baik atau terjadi bias dan makna
yang diterima oleh komunikan tidak sama dengan yang dimaksudkan oleh
komunikator, maka kesalahan sepenuhnya ada pada pihak komunikator.
Tetapi mungkin kita lupa untuk selalu mengadakan
pengecualian. Dalam beberapa kasus dalam proses komunikasi, mungkin kita
(apabila berada pada posisi komunikan) tidak perlu membebankan kesempurnaan
penyampaian pesan dari pihak komunikator. Karena kita sudah sepatutnya
menyadari bahwa kita pada dasarnya ialah manusia biasa yang mempunyai
keterbatasan.
Masih menyambungkan opini saya
mengenai maraknya kasus bunuh diri dengan pernyataan mengenai bunuh diri
sebagai bentuk komunikasi. Di era globalisasi seperti saat ini, dimana media
berkembang dengan sangat pesat dan penyebaran serta penyerapan informasi dapat
kita rasakan dalam hitungan detik saja. Media, seperti kita ketahui juga
disebut dalam proses berkomunikasi. Dengan pemilihan media yang tepat maka
proses penyampaian pesan diharapkan juga berlangsung dengan baik. Tetapi
(sekali lagi ini opini saya pribadi dan juga ketakutan saya sendiri), saya
melihat bahwa media dengan power yang sangat besar ketika telah membuat suatu
pemberitaan mengenai bunuh diri menjadi viral,
membuat saya khawatir bisa menimbulkan niatan atau memperkuat keinginan
seseorang yang tengah digilas roda kehidupan untuk melakukan hal yang sama.
Sepertinya masih segar dalam
ingatan saya ketika seorang ayah memutuskan untuk menghentikan nafasnya dan
mirisnya lagi ia lakukan di depan publik dengan menggunakan perantara fitur live dari sebuah media sosial. Bila
bunuh diri merupakan salah satu bentuk komunikasi, maka pesan yang ingin
disampaikan dari komunikator hanyalah berupa kode yng harus komunikan
persepsikan sendiri.
Bila bunuh diri adalah salah satu
bentuk komunikasi, maka komunikan harusnya merasa malu karena tidak
mempraktekkan self disclosure kepada
komunikator.
Bila bunuh diri adalah salah satu
bentuk komunikasi…. maka satu-satunya pesan yang tersampaikan adalah proses
komunikasi tidak berjalan dengan baik. Dan itu bukanlah kesalahan dari
komunikator semata.
Semoga saja tidak ada lagi yang
berpikiran atau berniat untuk menghentikan nafasnya secara mandiri. Seharusnya
kita semua tenang saja, Freud juga mengatakan bahwa tujuan semua hidup adalah
mati. Tetapi tidak ada sebaik-baiknya mati kecuali karena kehendak yang Maha
Kuasa.
Life is like a riding a rolloercoaster, once we got so high and laugh so loud, and in a second we got down and screaming till we can't hear our voice. Life is like a riding a rollercoaster, and like every game in a festival, it got it's own time to stop. Don't need to worry. It's just a life.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar