Mungkin saja aku hanya penasaran padamu. Pada segala rasa yang tak sempat ku cicipi darimu. Pada segala janji yang tak pernah kau nyatakan padaku. Untuk segala tawa yang kau umbar dengan yang lain tapi tidak denganku. Aku hanya menyaksikan semua itu dari jauh. Jauh sekali. Dari tempat yang tak pernah kau pikirkan.
Khayalku selalu bersamamu, mengikuti harimu dan memantau segala gerakmu. Aku rasa itu tidak akan membuatmu terganggu. Aku yakin itu benar. Toh sampai sekarang kau tidak pernah mengeluh. Tidak juga kau menghubungiku untuk menghentikan kegiatan itu. Jadi apa salahnya jika kulanjutkan saja penasaranku?
Benar aku penasaran padamu. Aku kerap merengut seperti anak kecil yang kehilangan permennya ketika membaca kalimat bahagiamu kepadanya, orang yang telah menjadi bagian dari hidupmu dulu, sama sepertiku. Aku menangis seperti Juliet yang memeluk tubuh Romeo yang telah tak bernyawa ketika aku menyadari kau tidak adil ke padaku. Mengapa kau masih bisa tertawa dengannya, orang yang telah menjadi bagian dari hidupmu dulu sedangkan aku masih mengingat dengan jelas pernyataanmu sore itu, waktu kau dan aku masih menjadi kita, bahwa kau tidak akan menulusuri apa yang telah kau lewati?
Lalu dengan segala kepenasarananku aku mulai terbakar cemburu. Yakinlah bahwa akupun tak menyukai rasa ini. Aku tak suka harus membuat pengecualian, bahwa mungkin dia “begini” maka kau pun “begitu”. Aku tidak suka menjadi egois, bahwa aku merasa harusnya akulah yang kau perlakukan seperti itu. Salahkah?
Aku menggenggam rasa ini terlalu erat, terlalu dalam. Rasa ini sama sakitnya seperti mengingat kembali hujan di malam hari kelahiranku tahun lalu, malam itu kuterobos hujan dengan tangisku akanmu, karena tak sehurufpun ucapan selamat kudengar darimu. Aku mengaharapkan untuk mendengar. Aku lelah untuk membaca. Aku lelah maka aku menangis. Miris. Hubungan kita berakhir sehari setelah hari lahirku. Kado yang menyakitkan darimu. Padahal aku lama menanti. Untuk seseorang sepertimu. Berhari-hari aku berharap, lalu kau datang. Sempurna. Tapi kemudian berakhir. Sempurna.
Jadi kurasa wajar saja bila aku penasaran padamu. Aku penasaran untuk menuntaskan tawa yang tak pernah ku rasakan denganmu. Untuk air mata yang tak pernah kau tahan untukku. Untuk segala puisi yang tak pernah kau terima dariku. Untuk kecupan yang tak pernah ku rasa darimu.
Aku sadar harusnya kusudahi saja penasaran ini, karena kau tak sadar, entah sampai kapan. Dan aku lelah. Lalu haruskah aku kembali menanti?
all i see is your face, all i need is your touch to wake me up with your lips...