Hari ini aku bertemu lagi dengan seorang sahabat. Hampir dua tahun kami tak pernah bertatap muka. Universe tends as it should. Dan itulah yang berlaku. Seorang sahabatku di kampus siang ini mengatakan bahwa ada banyak cara dari Semesta untuk menyampaikan pesan ke diri kita.
Sahabat yang kutemui malam ini ialah lelaki yang kukenal dari semasa putih abu-abu. Tiga tahun menghabiskan waktu dibangku sekolah. Kami sering membicarakn hal-hal yang dalam. Dan bagiku dia ini seorang kakak, tentu saja aku yang menjadi adiknya.
Sahabatku pandai sekali membaca aku. Malam ini, bahkan ditengah remangnya taman kampusnya dia bisa melihat kepedihan hati ini. "Kamu kelam sekali, gelap. Ada apa?" begitu katanya. Aku memang tidak pandai bermain "sembunyikan-perasaan-agar-terlihat-baik-baik-saja" dengannya. Jadi kelanjutannya kamu bisa membayangkan sendiri. Aku menuturkan kerisauan hati ini.
Entah karena dia sahabat ku atau karena dia mengambil Psikologi sebagai keilmuannya, dia dengan lancar membaca aku. Tak perlu banyak kalimat, dia menenangkan aku. Banyak hal yang kami perbincangkan lagi malam ini. Dan jujur membuat aku sesak nafas. Bukan karena kepulan asap yang ia semburkan dari mulutnya, mungkin karena kalimatnya menamparku dengan keras. Tepat sasaran.
Aku selalu bilang bahwa terkadang kita memang butuh tamparan keras untuk menyadarkan. Bukan dalam artian yang sebenarnya, tetapi ialah seseorang yang mengatakan kalimat yang memang telingamu harus dengarkan. Tentu saja untuk membuat sadar, bukan malah sebaliknya.
Sahabatku menuturkan bahwa ia dan aku tak jauh berbeda. Mirip bukan berarti sama, masih katanya. Kami sama dalam hal mengasihi orang lain, dan aku tahu benar hal itu. Tetapi, menurutnya ia tidak dapat menerima hal yang telah berakhir, beda denganku yang akan selalu menerima kembali apa yang telah usai.
Sahabatku tidak mengatakan sifatku yang satu itu buruk, hanya saja katanya aku butuh menjadi lebih bijaksana. Bijaksana dalam segala hal. Tindakan dan pikiran. Dan aku sadar betul bahwa kalimatnya yang barusan belum bisa aku jalankan.
Dia mengatakan bahwa hal yang terjadi padaku ini normal sekali. Dan dia juga sedikit memberiku cerita, tentang bagaimana jadinya kalau kita terlalu menerapkan diri kita ke pasangan. Itulah yang dinamakan berpacaran dengan diri sendiri, dan menurut dia itu tidak baik. Karena akhirnya kita merubah orang lain, yang dimana itu artinya kita terbuai oleh diri sendiri dan ketika tersadar segala yang tertinggal ialah kekosongan.
Jadi akhirnya aku tersadar. Bahwa "dia" memang benar. Aku lah yang terlalu mencintai diri sendiri. Berusaha menerapkan diriku kepadanya, berkhayal bahwa dia telah menjadi sosok yang selalu aku idamkan. Hingga ketika ia lelah dan memutuskan untuk mengakhiri. Dan aku masih terlalu cinta pada diriku sendiri. Jadi wajar saja aku patah hati. Merasa diselimuti kesepian tiap harinya, karena ia menolak menjadi aku. Dan masih aku yang tidak bisa menerimanya. Aku pula yang menyesalinya sekarang.
Sahabatku memberikan ku saran. Cukup klasik dan terlalu sering aku dengar dari orang lain. Tapi kali ini rasanya beda, mungkin karena kalimat ini keluar dari mulut orang yang mengenalku lebih dalam. Sabar. Hanya itu yang dapat menolong aku dari segala ketakutan. Setiap hari, katanya, aku dihadapkan pada banyak masalah. Dan jangan sampai karena hal yang satu ini aku menjadi terpuruk. "Karena Allah tidak mungkin memberikan cobaan yang tidak bisa kamu lewati". Dia seratus persen benar.
Lagi sahabatku bertutur, kalau aku harus menenangkan diri terlebih dahulu. Dan semuanya pasti akan baik-baik saja pada waktunya. Aku pun yakin bahwa mungkin inilah proses yang selalu "dia" bicarakan. Menjadi dewasa bersama.
Konsistensi akan perasaan dan ikhlas juga aku lupakan sampai sahabatku mengatakan bahwa itu hal yang penting. Jangan sampai perasaanku pada lelaki yang aku kasihi itu terkikis. Karena batu, bila diterpa kebaikan akan hancur, begitupula dengan kebencian.
Hingga adzan Isya berkumandang kami masih bertukar pikiran. Dan dia masih terus membaca aku. Sampai akhirnya aku harus pulang, dia mengantarku untuk menunggu anggkutan umum, kebetulan ia ada acara. Pesan terakhir sebelum aku pulang ialah, katanya aku akan baik-baik saja. Dan aku harus yakin itu.
Pesan yang sesungguhnya ialah, Sahabatku memang benar. Semesta memang selalu punya cara untuk menyampaikan pesan. Selama tiga minggu ini aku berderai air mata, terlalu naif untuk diri sendiri. Hingga tak sadar bahwa selama tiga minggu ini pula Semesta mengirimkan banyak sekali hiburan untukku. Dan malam ini baru aku sadari.
Jadi kuputuskan untuk menyudahi menagisi diri sendiri, kemudian untuk mencintai "dia" apa adanya, tanpa mencampuri aku didalamnya.
"Kalau kau tidak bisa membenciku, maka belajarlah untuk mencintaiku"
-Puisi yang dibacakan Abo' di koridor siang tadi, bagiku pertanda untuk melupakan niat membencimu. #IP
Tidak ada komentar:
Posting Komentar