If life is a rollercoaster...

26 Jul 2017

Assalamualaikum, halo apa kabar kalian?

I wish everything is fine.

Oke, seperti yang kita ketahui belakangan ini selain musim pernikahan (I mean buat saya bulan ini kayak wedding marathon. Like literally tiap minggu ada undangan kondangan (oke, ini agak nda penting sih sebenarnya hehe) ), juga sedang musim maraknya pemberitaan mengenai tindakan bunuh diri di media (mau yang media mainstream ataupun media sosial).

Mulai dari berita si mantan pacarnya selebgram yang meninggal karena bunuh diri (tapi ini masih simpang siur sih. Ada yang bilang Alm. meninggal karena bunuh diri, ada juga yang bilang karena sakit) , sampai berita kakak adik yang bunuh diri dengan cara melompat dari beranda apartemennya. Well, berbicara mengenai tindakan bunuh diri memang bukanlah hal yang baru di dunia ini. Tapi tetap saja terasa/ terdengar miris (at least ini buat saya pribadi).

Kita semua tau, dan saya rasa kita semua paham kalau life is like riding a rollercoaster. We got our heart beat so fast when we going up, and we can’t catch our breath when the rollercoaster going down in a high speed. Jadi kurang lebih seperti itu, atau simpelnya seperti perkataan orang-orang, kalau kehidupan itu seperti roda yang berputar. Kadang kita diatas, kadang juga dibawah.

Menurut saya pribadi, kita semua pasti pernah, paling tidak sekali saja, dalam hidup ini berada di lowest point on life. Kita pernah berada di bawah roda. Entah roda kehidupan itu sedang menggilas kita dengan cepatnya. Entah ukuran roda kehidupan itu segede gaban sampai kita tiba kepada titik depresi atau titik tidak mempunyai semangat untuk hidup lagi.

Kalau dari hasil seluncuran saya di search engine bernama google, dalam studi psikologi mengatakan bahwa ketika kita merasa depresi maka keinginan untuk bunuh diri sebagai bentuk penyelesaian masalah itu sangat besar persentasinya. Tapi yang menarik buat saya ketika berseluncur di ombak bacaan jaringan internet tadi ialah pandangan dari DR. Kartono Kartini yang menyatakan bahwa salah satu tipe dalam bunuh diri ialah tipe bunuh diri sebagai komunikasi.

Komunikasi buat saya ialah sebuah kebutuhan primer dari setiap individu. Baik yang memiliki karakter introvert maupun extrovert. Komunikasi bagai sebuah kebutuhan yang layaknya dipenuhi oleh setiap individu. Baik dalam bentuk komunikasi langsung ataupun yang membutuhkan media sebagai perantara. Bila mengaitkan antra pandangan DR. Kartono Kartini yang mengatakan bahwa bunuh diri menjadi salah satu bentuk perwujudan komunikasi, maka kita atau dalam hal ini orang-orang maupun kerabat dari orang-orang yang memutuskan untuk mengakhiri hidupnya dapat dikatakan sebagai seorang komunikan dan pelaku bunuh diri itu sendiri sebagai seorang komunikator.

Saya ingat dengan jelas dalam satu kali pertemuan ketika mata kuliah pengantar ilmu komunikasi, sang dosen mengatakan bahwa ketika proses penyampaian pesan tidak terjadi dengan baik atau terjadi bias dan makna yang diterima oleh komunikan tidak sama dengan yang dimaksudkan oleh komunikator, maka kesalahan sepenuhnya ada pada pihak komunikator.

Tetapi mungkin kita lupa untuk selalu mengadakan pengecualian. Dalam beberapa kasus dalam proses komunikasi, mungkin kita (apabila berada pada posisi komunikan) tidak perlu membebankan kesempurnaan penyampaian pesan dari pihak komunikator. Karena kita sudah sepatutnya menyadari bahwa kita pada dasarnya ialah manusia biasa yang mempunyai keterbatasan.
Masih menyambungkan opini saya mengenai maraknya kasus bunuh diri dengan pernyataan mengenai bunuh diri sebagai bentuk komunikasi. Di era globalisasi seperti saat ini, dimana media berkembang dengan sangat pesat dan penyebaran serta penyerapan informasi dapat kita rasakan dalam hitungan detik saja. Media, seperti kita ketahui juga disebut dalam proses berkomunikasi. Dengan pemilihan media yang tepat maka proses penyampaian pesan diharapkan juga berlangsung dengan baik. Tetapi (sekali lagi ini opini saya pribadi dan juga ketakutan saya sendiri), saya melihat bahwa media dengan power yang sangat besar ketika telah membuat suatu pemberitaan mengenai bunuh diri menjadi viral, membuat saya khawatir bisa menimbulkan niatan atau memperkuat keinginan seseorang yang tengah digilas roda kehidupan untuk melakukan hal yang sama.
Sepertinya masih segar dalam ingatan saya ketika seorang ayah memutuskan untuk menghentikan nafasnya dan mirisnya lagi ia lakukan di depan publik dengan menggunakan perantara fitur live dari sebuah media sosial. Bila bunuh diri merupakan salah satu bentuk komunikasi, maka pesan yang ingin disampaikan dari komunikator hanyalah berupa kode yng harus komunikan persepsikan sendiri.
Bila bunuh diri adalah salah satu bentuk komunikasi, maka komunikan harusnya merasa malu karena tidak mempraktekkan self disclosure kepada komunikator.
Bila bunuh diri adalah salah satu bentuk komunikasi…. maka satu-satunya pesan yang tersampaikan adalah proses komunikasi tidak berjalan dengan baik. Dan itu bukanlah kesalahan dari komunikator semata.




Semoga saja tidak ada lagi yang berpikiran atau berniat untuk menghentikan nafasnya secara mandiri. Seharusnya kita semua tenang saja, Freud juga mengatakan bahwa tujuan semua hidup adalah mati. Tetapi tidak ada sebaik-baiknya mati kecuali karena kehendak yang Maha Kuasa.

Life is like a riding a rolloercoaster, once we got so high and laugh so loud, and in a second we got down and screaming till we can't hear our voice. Life is like a riding a rollercoaster, and like every game in a festival, it got it's own time to stop. Don't need to worry. It's just a life.
 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS